Empat Musang - Ada Harga Ada Rasa
Serial cerita pendek kali ini menceritakan tentang mereka. Ahmad, Baim, Ali dan Mukhlis. Cerita tentang mereka berempat selalu akan saya ceritakan dalam cerita pendek berikut nya yang akan datang.
Empat musang, itulah nama geng mereka. Anak anak komplek dengan pengalaman seru nya menjalani hidup. Empat anak yang selalu berada disekitar orang orang dengan perangai baik dan bijak.
Ada Harga Ada Rasa adalah judul dari cerita pendek serial empat musang ini. Kejadian kocak dan seru yang dialami mereka berempat...
Ada Harga Ada Rasa
GOOl! Kami bersorak kegirangan, tim kami unggul 1-0. Aku mengangkat kepalan tanganku tinggi tinggi. Berteriak dengan keras " HIDUP TIM DANAMON!! " yang di balas dengan " HIDUP! ".
Aku tersenyum lebar menatap teman teman ku yang salin tos, baru kali ini aku melihat wajah teman teman ku segembira ini saat bermain bola, biasanya mereka berwajah lesu. Gimana tidak lesu, setiap kali tanding bola dengan komplek sebelah kami kalah di bantai 5-0.
Disetiap minggu sore kami anak anak komplek Danamon selalu tanding bola dengan komplek komplek lain. Rutinitas tanding bola Minggu sore ini berawal dari perdebatan anak anak komplek ku dengan komplek sebelah perihal siapa yang berhak bermain duluan di lapangan yang sekarang kami gunakan untuk tanding.
Jadilah kami bertanding bola setiap minggu sore, tidak ada perdebatan, tidak ada keributan dan tidak ada wajah jengkel. Tak heran betapa serunya kami bermain bola, saking serunya pernah suatu saat salah satu teman kami tak sengaja melempar sendalnya ke teman yang lain karena saking senang nya berhasil mencetak gol.
"Ahmad, pulang yok!" Aku mengenali suara itu, kawan baik ku yang bertubuh gempal itu berlari lari kecil ke arah pinggir lapangan. Tadi dia tidak ikut main, sudah lebih dulu melihat pedagang siomay di depan rumah nya. Jadilah Baim tidak ikut, hanya karena perihal makan siang nya yang batal tadi selepas dzuhur. Dia Baim, salah satu teman karibku yang selalu kupercaya, teman yang selalu lapar walau sudah diberi nasi sepiring penuh. Salah satu anggota geng empat musang.
"Sabar Im, hhh" aku mengeluh, tali benang layangan yang entah dari mana asalnya menyangkut sendal biru ku. Tadi ketika aku berjalan keluar lapangan, tiba tiba tali benang layangan ini menyangkut di sandal ku. Sekarang lagi musimnya, anak anak yang tidak senang bermain bola lebih memilih bermain layangan. Banyak tali layangan yang berhamburan di lapangan, salah satu alasan kenapa permainan bola kami sering tertunda. 10 menit berkutat dengan tali benang layangan ini, akhirnya aku terduduk, menyerah.
"Tak patut tak patut, sejak dari tadi nggak ada kerjaan dia" Mukhlis, teman sebaya ku, teman yang suka tipu tipu, entah dari mana sudah berdiri disamping ku. Sambil menggeleng-gelengkan kepala dan juga menggerakkan jari telunjuk nya kekanan kekiri. Aku ber-huhh pelan, enak saja di bilang tidak ada kerjaan. Dari tadi aku bersusah payah melepaskan benang layangan ini dari sendalku, bukannya membantu malah mengolok olok.
"Dasar orang kota, melepaskan tali benang saja tak becus!" Aku kaget bukan main dengan kehadiran Ali. Rekan empat musang ku, teman sebayaku yang baik hati dan senang membantu, sudah berdiri di sampingku. Yang lalu menggeser tempat duduk ku. Tapi sayangnya ia suka sekali bergurau yang tidak tidak.
Temanku ini juga sok pintar, sok tahu, nilai ujian IPA nya saja hanya dapat 6, masih saja sering sok ikutan membahas tentang pelajaran IPA atau pelajaran lainnya. Setiap omongan nya tentang pelajaran pasti bekas copian dari gurunya. Kalian dengar sendiri kan tadi, bilang dengan nada sok tahunya kepada ku Dasar orang kota, bukankah dia juga orang kota, orang komplek, sama sepertiku...
Bukan salah dia bilang kepadaku dasar anak kota, sebenarnya Ali sepenuhnya bukan orang kota. Dulu dia anak kampung yang pindahan dari pulau seberang, karena ayahnya yang mempunyai masalah dengan bos kerjanya, akhirnya pindah ke kota yang kutinggali ini, kota dengan julukan Kota Patriot. Jadilah Ali dan ibunya ikut pindah.
Aku yang mendapati Ali sedang membantu melepaskan benang layangan yang menyangkut disendalku nyengir. Awas saja nanti kalau dia meminta uang imbalan sebagai upah membantu ku.
"Dah nih Mad" dia menepuk nepuk celana nya yang berdebu, lapangan tempat kami bermain memang bukan terbuat dari beton ataupun semen, hanya tanah dengan ribuan helai rumput diatasnya, walau tidak semua bagian lapangan tertutupi rumput. Jika sedang musim kemarau, pasti lapangan yang sering kami gunakan itu selalu berdebu, rumputnya tak hijau lagi, kering. Membuat mata kami sering kelilipan. Tapi itu sudah lebih dari cukuplah untuk kami bermain bola.
"Segitu saja masa kau tidak bisa" Ali dengan logat Melayunya bilang dengan intonasi sok tahu. Sambil memakan es teh batangan yang dibeli nya. Tak berselang dua menit teman ku itu berhasil melepaskan tali benang layangan nya dari sendalku. Yaah... Walaupun dia punya banyak kekurangan, setidaknya ia cukup bergunalah untuk teman baiknya.
"Terserah lah" aku menjawab tidak peduli, lantas berlari lari kecil menuju tempat Baim dan Mukhlis berdiri. Di belakang ku Ali berjalan santai sambil mengemut es teh batangan nya. Sore itu kami bubar, awan sudah terlihat gelap, berat menampung jutaan tetes air yang akan menjadi butiran butiran air hujan.
Aku berterimakasih kepada Ali di saat kami berjalan pulang, merasa bersalah tidak langsung mengucapkan nya tadi. Ali hanya mengangguk, lalu bergurau menagih uang jajan sebagai upahnya membantu ku. Sore itu kami tutup dengan tawa bahagia.
****
Pagi datang ke sekian miliar kali, pagi ini di rumah ku agak sibuk. Tak lain karena ibuku, yang merupakan penjahit baju, sedang melayani pelanggan yang memesan secara online maupun yang datang.
Selepas subuh, biasanya aku nongkrong di depan rumah, entah itu menunggu kawan baik ku datang atau hanya sekedar duduk duduk saja. Tapi ketika pukul 7 pagi tadi ibu menyuruhku untuk membantu nya mengangkat baju baju pesanan untuk nanti dikirim. Tentu saja melelahkan, baju pesanan yang terlipat dan tergantung rapih itu seperti tak pernah habisnya.
Aku menyeka peluh di dahi, lama lama baju belakang ku jadi basah karena keringat. Ketika aku sedang mengipas ngipaskan leher dengan tanganku, Bapak memanggil ku dari depan rumah.
"Ahmad!" Bapak memanggil namaku.
"Ya, sebentar!" aku bersusah payah menyelotip bungkusan baju pesanan pelanggan ibu. Itu baru menyelotip, belum tugasku selanjutnya, meletakkan bungkusan baju pesanan pelanggan ibu ke dalam lemari. Biar nggak berantakan dilantai kata ibuku, justru aku mendengus pelan. Sudah mengangkat baju baju, menyelotip bungkusan baju pula, sekarang malah disuruh merapihkan nya. Ibu hanya tersenyum melihatku.
"Sudahlah Mad, tinggalkan dulu yang itu. Belikan bapak soto Bogor, ibu pagi ini seperti nya tidak masak. Setelah itu kau boleh main!" Bapak yang melintas di depan pintu toko baju ibu tertawa. Wajah ku langsung cerah. Aku menatap muka ibu yang melotot ke arah bapak, lalu mengangguk pelan sambil tersenyum masam. Aku berlari keluar dari toko baju ibu menuju teras rumah tempat bapak duduk bersandar di kursi.
"Beli berapa sotonya pak?" Aku menjulur kan tangan, meminta uang untuk membeli soto Bogor. "Dua saja, uang lebih nya buat kamu jajan" bapak merogoh saku celana nya, yes! Dua puluh lima ribu. Berarti nanti sisanya lima ribu, lumayan buat beli Batagor.
Setelah menerima uangnya aku berlari keluar rumah sambil menuntun sepeda. Jarak dari rumah ku ke warung soto Bogor lumayan jauh, sekitar tujuh ratus meter. Selain karena warung soto Bogor hanya ada satu, komplek yang kami tempati juga jauh dari tempat tempat ramai seperti pusat perbelanjaan. Komplek kami bisa dibilang hampir berada di pelosok, berada dekat sekali dengan perkampungan, tempat Ali mengajak bermain gobak sodor kala itu. Selain di komplek kami juga sempit, lebar jalan akses komplek kami hanya empat meter.
Ditengah perjalanan aku bertemu dengan mereka bertiga, Baim, Ali dan Mukhlis yang sedang bermain Handphone ibu Mukhlis di depan rumah nya. Mungkin mereka lagi nonton Yutub. "Oi! Coba kalian lihat mukanya, ngakak sekali bukan?!" Ali berseru sambil tertawa terpingkal pingkal, juga Baim dan Mukhlis.
Aku yang penasaran mendekat, sepedaku ku parkir di depan mereka. Aku mendongakkan kepala hingga aku bisa melihat apa yang mereka tonton. Aku nyengir, benar perkiraan ku, mereka sedang nonton yutub. "Itu channel siapa?" Aku bertanya. Harusnya pagi ini kami berangkat ke sekolah, namun karena dari pihak sekolah mengatakan kegiatan belajar mengajar di liburkan sementara, karena ada virus katanya, akhirnya kami tidak jadi berangkat. Terserah kami ingin melakukan apa.
"Channel nya MAQ, Mad!" Mukhlis menjawab sambil mengubah posisi hp nya ke posisi lenskape. Aku ber-ohh pelan, aku tahu channel itu, Mukhlis pernah menonton nya dulu dan langsung menunjukkan nya kepada ku dan Baim juga Ali. Channel komedi yang memiliki 4 jutaan subscriber. Kami selalu menontonnya jika kami bosan duduk duduk di depan rumah Mukhlis.
"Eh... Aku mau ke warung soto Bogor, kalian mau ikut tidak?" Aku bersiap menaiki sepeda ku kembali.
"Aku ikut, Mad!" Baim dan Ali hampir bersamaan. "Tapi kamu tunggu dulu disini, kami mau mengambil sepeda!" Ali mengangguk-ngangguk, setuju dengan perkataan Baim.
Aku mengiyakan, tapi aku masih memerhatikan Mukhlis yang terus saja memegang hp. Biasanya dia semangat ikut kalau kami ingin pergi ke warung soto Bogor. Selalu meminta uang kembalian nya di sisihkan untuk uang jajan. Padahal bukan dia yang beli, malah memaksa teman nya sendiri untuk mau memberikan sejumlah uang sebagai uang jajannya. Lima menit aku menunggu Baim dan Ali mengambil sepeda nya, lima menit pula aku bolak balik menatap jalan kosong yang dilewati dua teman ku tadi.
"Kamu nggak ikut, Mukhlis?!" Aku bergidik ngeri, rasa nya ingin cepat cepat pergi dari depan rumah nya. Tadi itu bukan suaraku, itu suara ibunya Mukhlis! Ibunya sudah menjewer telinga Mukhlis sambil mengambil paksa hp yang di pegangnya, yang dijewer mengaduh minta ampun.
"Bebal sekali kamu dibilangin Mukhlis Rahman! Jangan gunakan hp ibu jika ibu tidak mengizinkan kamu menggunakan nya, paham?! Lebih baik kamu pergi main sajalah bersama teman teman mu itu. Daripada seharian melakukan hal-hal yang tidak berguna!" Ibu Mukhlis dengan gemas mengeluarkan nya dari yutub, lantas mematikan hpnya. Wajah Ibu Mukhlis terlihat berminyak, mungkin habis menggoreng gorengan untuk jualannya. Mukhlis yang telinga nya merah setelah dijewer ibunya lari terbirit-birit menuntun sepedanya yang kemudian ia naiki.
Sejak ibu Mukhlis mengomel tadi, aku sudah lari sprint menuntut sepeda ku, menjauh dari rumah nya. Mendengar suaranya saja sudah seram, apalagi mukanya. Ditambah lagi dengan alis tebalnya yang terlihat galak, malah tambah ngeri melihatnya.
Jika kalian bertanya tentang Baim dan Ali kemana, mereka sejak tadi sudah mengayuh sepedanya kuat kuat, menjauh dari rumah Mukhlis. Sebenarnya saat ibu Mukhlis mengomel, Baim dan Ali sudah sampai di persimpangan jalan menuju rumah Mukhlis. Tapi entah mengapa mereka langsung berputar balik mencari jalan lain menuju aku dan Mukhlis berada. Mungkin mereka takut ikut diomeli karena tadi mereka juga ikutan nonton bareng Mukhlis.
Beberapa hari setelah itu, ibuku bilang kalau ibunya Mukhlis itu memang berasal dari Betawi, lahir disana dan tumbuh hingga dewasa disana. Aku yang mendengar nya pun mendengus kesal. Pantas saja galak, dari Betawi rupanya. Tapi sejak itu aku belum tahu, kalau Ibu Nadiya, ibu nya Mukhlis, justru sedang memberikan rasa kasih sayang nya yang begitu besar kepada anaknya. Walau dengan ketegasan nya mengatur Mukhlis agar disiplin, walau wajah garang nya selalu tampak ketika Mukhlis berbuat salah, walau galak nya menasihati Mukhlis, tapi sejatinya Ibu Nadiya tetaplah seorang ibu yang penuh perhatian dan kasih sayang kepada anaknya, Mukhlis. Entahlah, apa karena Mukhlis anak satu satunya yang Ibu Nadiya miliki.
"Eh, bukannya satu bungkus sepuluh ribu bang?" Aku yang sudah menerima bungkusan soto Bogor itupun bingung setelah menerima uang kembalian. Kenapa hanya seribu rupiah kembaliannya. "Biasa dik, resep baru, jadi naik harganya" Abang penjual soto Bogor itu hanya terkekeh melihat wajah berpikirku.
"Oi! Bukankah seminggu lalu mamak saya beli nya hanya sepuluh ribu satu bungkus?!" Ali yang ada di belakang ku hendak protes, tangan nya menunjuk kebelakang dengan dahinya yang berkerut.
"Ya namanya resep baru, rasa soto Bogor nya juga lebih enak, harganya saya naikin lah!" Abang penjual menjawab ketus, sambil menatap jengkel ke Ali yang terus protes. Lagi sibuk di protes, Tutup mulut sajalah!, mungkin begitu maksud dari tatapannya.
"Hei... Aku sudah bosan disini, ayolah kita main setelah ini, matahari mulai terik!" Mukhlis menarik lengan bajuku, sejak tadi dia hanya berdiri sambil menendang nendang kerikil, bosan menunggu ku. Sepertinya wajahnya masih kesal setelah dimarahi ibunya tadi.
Aku segera menyikut Ali disampingku untuk berhenti protes sambil menatap nya. Yang ditatap mengganguk, lantas berjalan disamping ku dan Mukhlis. Kami menuju sepeda masing masing, yang terparkir persis didepan warung nya.
"Oi, Baim kemana?!" Ali celingak celinguk ke arah tempat kursi yang Baim duduki tadi. Aku juga heran, teman ku yang satu ini kemana dah. Aku menggantung bungkusan soto Bogor disetang sepeda, lalu melihat lihat sekitar.
Hingga Mukhlis menepuk nepuk bahu ku dan Ali, menunjuk orang yang dicari lalu bilang "tuh disana dia Mad, Li". Ali yang melihat Baim mengunyah gorengan di depan pedagang gorengan langsung menepuk jidat.
"Baim, yok pulang!" Mukhlis meneriaki Baim yang terus saja memakan gorengannya. Aku tidak melihat wajah Baim yang lucu mengunyah pisang goreng hingga pipinya embem. Aku masih berpikir kenapa harga soto bogor jadi naik, belum tentu juga apa yang dikatakannya tadi benar. Aku mendengus kecewa menatap uang seribu rupiah yang kupegang. Kalau beli batagor juga tidak cukup uangnya.
****
"Sudah beli soto Bogor nya?" Bapak bertanya padaku yang lagi menyenderkan sepeda di tembok. Aku mengganguk saja, lalu berjalan masygul kearah bapak sambil menggenggam uang kembalian tadi.
"Sudah jajan, Ahmad?" Bapak membuka bungkusan soto bogornya lantas menumpahkannya ke dalam mangkuk.
"Kembalian nya cuma seribu pak, paling cuma bisa jajan permen dua–mau jajan batagor juga nggak cukup" aku membuka genggaman tanganku yang terdapat dua uang 'gopek', lalu menutup nya lagi begitu seterusnya. Bapak hanya manggut manggut, menyuap kuah sotonya lagi.
"Lezat sekali soto Bogor ini, rasanya berbeda sekali sewaktu bapak memakannya bulan lalu." Bapak memakan mie nya, ber-mmm sedap.
"Iya pak, harga sotonya naik jadi dua belas ribu, katanya karena rasa soto Bogor nya baru dan lebih enak–rugi dong Ahmad, cuma kembalian seribu rupiah. Dan belum tentu juga rasanya lebih enak" Aku mengayunkan kaki di bawah kursi.
"Tidak ada yang dirugikan Ahmad" Bapak hanya tersenyum lalu tertawa kecil. "Pedagang soto Bogor itu mendapatkan uang lebih, sedangkan kita sebagai pembeli mendapatkan soto dengan rasa yang lebih enak dari yang di jual sebelumnya. Jelas tidak ada yang dirugikan. Kau saja yang bilang dirugikan hanya karena uang jajannya terpotong empat ribu" Bapak tertawa.
"Ahh... Kalau menurut definisi Bapak, pedagang itu sudah benar menaikkan harga nya dengan alasan resep nya baru dan rasa soto Bogor nya yang lebih enak. Dan memang rasanya lebih enak dari yang sebelumnya ia jual." Bapak menepuk bahuku. Yang kemudian menyendok soto Bogor nya lagi.
Sebagian hatiku berkata benar juga ya, namun sebagian yang lain membantah perkataan Bapak. Aku mendengus kesal, sudah seminggu lebih aku tidak diberi uang jajan. Gara gara waktu itu di hukum ibu karena kabur main dari tugas membantu membereskan rumah.
"Itulah mengapa Ada Harga Ada Rasa" Bapak kembali menyendok kuah soto, yang kemudian tersenyum melihat wajah ku yang melongo tak mengerti. "Maksudnya?" Aku menatap Bapak yang ber-hah kepedasan. Masih belum mengerti dengan kalimat Bapak tadi.
"Yaa... Ada Harga Ada Rasa. Soto Bogor ini misalnya, dengan resep baru, rasa kuah yang lebih lezat, beberapa tambahan seperti daging, dan mie yang lebih baik rasanya. Maka wajar saja harganya dua belas ribu, itu harga yang pantas-pantas saja, dan setara dengan soto Bogor yang dijualnya. Jangan ditanya lagi jika si pedagang sudah mengatakan hal yang sebenarnya. Dibalik semua macam harga, mau murah atau mahal pun, pasti ada rasa yang membuatnya menjadikan harga itu murah atau mahal. Itulah yang dinamakan Ada Harga Ada Rasa, Ahmad..." Bapak menatap Lamat Lamat matahari yang terus saja meninggi di timur sana. Lalu menatap ku yang duduk takzim mendengarkan penjelasannya.
"Jika Ahmad bertanya kenapa soto Bogor ini harga nya naik dan harganya lebih mahal dari harga soto Bogor pada umumnya, maka jawabannya mudah sekali. Karena soto Bogor ini lezat, lebih lezat dari soto Bogor yang dijual sebelumnya-lebih lezat dari soto Bogor yang dijual ditempat lain." Bapak kembali menyendok kuah soto bogornya yang bercampur daging dan mie.
"Harga bisa berubah kapan saja jika kualitas, rasa, dan kenikmatan dari soto nya sudah tidak pantas dihargai dengan harga sekian dan sekian. Maka, jangan terlalu banyak bertanya kenapa soto Bogor ini harga nya mahal, kenapa kok harganya naik dari yang sebelumnya... Jawabannya satu, karena rasa dan kenikmatan dari soto Bogor ini lebih baik dan lebih lezat rasanya dari soto Bogor yang dijual sebelumnya."
"Jadilah pedagang yang baik, jadilah pembeli yang baik. Berpikirlah satu sama lain dengan logika dan hati. Jangan pernah bertindak karena emosi dan hawa nafsu. Dengan begitu kita bisa memberikan ketentraman, ketenangan dan kebahagian untuk semua orang yang terlibat dalam kegiatan jual beli tersebut. Jika kamu dan teman mu menawar harga dengan pedagang tadi, ya kasihan lah dia. Warungnya baru ini ramai pembeli karena resep soto Bogornya yang baru, yang lebih lezat. Dulu sepi pembeli, paling hanya dua dalam sehari, karena persaingan dengan pedagang soto Bogor yang lain." Demikian penjelasan panjang lebar Bapak. Aku sudah berdiri dari tempat duduk, ingin pergi main bersama tiga kawan baik ku.
"Sebentar-" Bapak menarik lenganku, sambil menyodorkan mangkuk soto nya. "Biar Ahmad rasakan dulu kelezatan dari soto Bogor ini, semoga kamu percaya dengan perkataan pedagang tadi." Bapak tersenyum tipis melihat wajah ku yang menggelembung hendak bermain, namun dicegah Bapak.
Oi! Saat aku mencoba soto Bogor Bapak, menyuap satu sendok penuh kuah soto bercampur mie, mataku membulat. Bukan main rasanya! Soto Bogor dengan kuah hangat nya, daging nya, mie nya serta komponen komponen lain yang lebih baik dan lebih lezat dari yang sebelumnya, menjadikan makanan yang bernama Soto Bogor itu paling lezat sekecamatan. Satu dunia malah.
Mungkin aku terlihat "norak" memakan soto Bogor itu, tapi siapa yang peduli. Sungguh, rasa nya bahkan jauuh lebih lezat dari yang sebulan lalu aku makan. Kalian tidak tahu dan tidak akan pernah tahu seberapa lezat soto Bogor yang sedang kumakan ini. Sekarang aku percaya seratus persen penuh perkataan Bapak, bahwa dibalik setiap harga yang murah atau mahal, pasti ada rasa yang membuat harganya murah atau mahal.
Bapak yang tertawa melihatku yang terus-terusan memakan soto Bogor nya langsung menarik mangkuk nya ke dekatnya. "Sudah sudah, nanti habis soto Bogor bapak kamu makan. Kamu main sajalah, kan masih ada jatahnya" aku berdiri dari tempat duduk, nyengir. Terdengar dari luar Baim memanggil-manggil. Aku hendak loncat memakai sandalku, tapi Bapak mencegahku.
"Sebentar, Bapak beri lima ribu untuk kamu jajan, Ahmad–semoga cukup" Bapak merogoh saku celananya, lalu tertawa melihat wajah cerah ku setelah menerima uang itu.
Aku segera berlari menuju gerbang rumah, diluar sudah ada Baim, Ali dan Mukhlis yang sedang menunggu ku. "AHMAD GUNAWAN! Mau kemana kamu?! Katanya tadi mau bantuin ibu selepas membeli soto Bogor? Ahmad!" Ibu berseru-berseru dari toko baju nya.
Aku sudah mengucap salam, telanjur berlari lari kecil bersama empat kawanku. Mukhlis tertawa setelah ibuku mengomel tadi, bilang "parah nih kamu Mad" dengan wajah sok seriusnya. Aku hanya tertawa kecil. Bersama kami menerobos terpaan sinar matahari pagi.
TAMAT
Ada Harga Ada Rasa... Ketika di sana ada harga, mau mahal atau murah, maka sejatinya Rasa lah yang menjadi alasan dan sebab kenapa harga mahal dan murah. Jadilah pedagang yang baik, jadilah pembeli yang baik. Dengan demikian kita telah memberikan kebahagian kesemua orang dalam kegiatan jual beli tersebut. ~~Hanif Muchtar~~
Nama : Muhammad Hanif Muchtar
Kelas : 6
Asal Sekolah : SDIT Darul Maza
Tema : Jual Beli
Maa syaa allah, kereen...ceritanya mas hanif.. sdh ada brp cerita? Sdh bisa dibuat buku ya...
BalasHapusKereeen ... Ingin juga bisa menulis cerita seperti ini.
BalasHapusSudah jadi bukukah?
Luar biasa ini...
BalasHapusDitunggu kelanjutan si empat musang